Tiga Dibungkam Covid


Tiga aktivis di Kalimantan Timur diduga dibungkam dengan modus Covid-19. Berhubungan dengan kasus lingkungan hingga pemindahan ibu kota negara.


Juli, 2020--BEBERAPA orang berseragam oranye nyelonong ke kantor Walhi Kalimantan Timur di Samarinda pada 30 Juli, tahun lalu. Mereka datang dengan membawa semprotan disinfektan. Tanpa ba-bi-bu, apalagi menunggu persetujuan tuan rumah, cairan pembersih virus Covid-19 segera disemburkan ke tiap bilik di markas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia itu. 

Salah satu petugas kemudian angkat bicara, bak hakim menyampaikan vonis. Ia mengatakan ada penghuni kantor yang positif Covid-19. Yang dicap: Direktur Walhi Kalimantan Timur Yohana Tiko. Bersama Yohana, dua aktivis Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) dari Lembaga Bantuan Hukum Samarinda, yakni Bernard Marbun serta Fathul Huda, juga divonis positif. Pokja 30 adalah lembaga nonpemerintah yang mengawal isu korupsi dan transparansi anggaran di Kaltim. Kantornya dekat dari Walhi.

Sehari sebelumnya, Dinas Kesehatan Samarinda memang melakukan tes acak Covid-19 di kantor Walhi dan Pokja. Pemeriksaan swab polymerase chain reaction (PCR) itu dilakukan karena, menurut petugas Dinas Kesehatan, ada klaster baru di sekitar Sekretariat Pokja 30. Di kantor Pokja 30 itu, delapan aktivis dites, termasuk Bernard Marbun dan Fathul Huda. Dari sana, pemeriksaan dilanjutkan ke kantor Walhi. 

Petugas kesehatan menyatakan Yohana, Bernard, dan Fathul diharuskan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Inche Abdoel Moeis. Tapi Yohana menolak perintah tersebut

Yohana menyangsikan hasil tes virus Coronanya sudah keluar. Soalnya, tes swab PCR baru berselang sehari. Sedangkan di masa itu laboratorium membutuhkan waktu lebih dari 4-5 hari untuk menyelesaikan pengujian. Kecurigaan Yohana makin kuat karena petugas yang datang ke kantor Walhi tak membawa bukti hasil tes PCR

Tes rapid antigen di kantor Walhi Kaltim dilakukan petugas tanpa alat pelindung diri (APD) lengkap. Foto: kaltimkece.id

Muncul syak dan sangkaan bahwa Covid-19 sekadar kedok untuk membungkam kegiatan kantornya. Soalnya ketika itu mereka tengah gencar-gencarnya memprotes rencana pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan wacana ini memicu konflik dengan masyarakat. 

Apalagi, sepanjang bulan tersebut, beberapa aktivis Walhi nasional dan daerah juga dikriminalisasi. Sepekan sebelumnya, pada 23 Juli, rumah kontrakan Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi di Jakarta digeledah polisi. Tuduhannya sangat serius, tapi tidak terbukti: bahwa Zenzi menyimpan narkoba. Pada bulan yang sama Direktur Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al-Amin juga mendapat ancaman. Seorang aktivisnya, Slamet Riyadi, dan nelayan bernama Marne kemudian ditangkap polisi pada 14 Agustus, dengan tuduhan melakukan pengrusakan ketika memprotes operasi kapal tambang pasir.

Sebenarnya kejanggalan itu sudah terlihat sejak tes Covid-19 dilakukan. Menurut Bernard, petugas datang tanpa alat pelindung diri (APD). Ketika ia menanyakan surat tugas mereka, para petugas juga tak bersedia menunjukkannya, dengan alasan menunggu pengambilan sampel rampung. "Namun selepas pemeriksaan itu, surat tugas yang saya minta tidak juga ditunjukkan," kata dia. 

Kecurigaan tiga sekawan itu kian kuat ketika mereka mendatangi RSUD Inche Abdoel Moeis pada 31 Juli. Mereka diperlakukan layaknya pasien Covid-19, tapi tidak ada bukti yang ditunjukkan petugas bahwa mereka positif. Yohana sempat mencecar soal hasil tes Covid-19 itu kepada petugas medis. "Tapi mereka bilang, tanya sama yang bawa, kami tidak tahu soal itu. Kami hanya mendapat pelimpahan saja," kata Yohana. 

Akhirnya, tiga sekawan dibiarkan terbengkalai di parkiran rumah sakit. Beberapa jam berlalu, mereka kemudian disodori surat pernyataan menolak dirawat di rumah sakit, yang tentu saja tidak ditandatangani. 

Lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan infrastruktur ibukota kota baru di Penajam Paser, Kalimantan Timur. Foto: TrendAsia

Yohana menuturkan, perintangan dengan modus status Covid-19 ini diduga terkait sejumlah kasus yang sedang diadvokasi Walhi Kalimantan Timur. Di antaranya adalah gugatan atas tumpahan minyak di Teluk Balikpapan yang diinisiasi bersama Jaringan Advokasi Tambang, Pokja 30, dan LBH Samarinda. 

Gugatan ini dilatarbelakangi kemarahan publik atas ulah kapal-kapal besar di Teluk Balikpapan yang kerap “buang hajat” sembarangan. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat tiga kali terjadi tumpahan minyak. Namun, hanya satu kejadian yang diusut oleh kepolisian. Karena itu, mereka meminta pemerintah daerah serius menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta menerapkan standar operasional prosedur untuk mencegah tumpahan minyak. Atas gugatan ini, majelis hakim telah mengabulkan beberapa dari belasan poin gugatan yang ditujukan kepada Gubernur Kalimantan Timur.

Walhi Kaltim kala itu juga tengah menangani konflik tenurial antara masyarakat Desa Lebak Cilong, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang wilayahnya masuk dalam peta rencana ibu kota negara, dengan sebuah perusahaan hutan tanaman industri. "Perusahaan ini dimiliki oleh seorang konglomerat dan setengah wilayahnya sudah diberikan kepada pemerintah untuk kebutuhan pembangunan ibu kota negara," kata Yohana. 

Di lokasi calon ibu kota itu, Walhi Kaltim bersama koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, dan berbagai organisasi lainnya, juga menemukan sejumlah persoalan. Dari adanya potensi kerusakan lingkungan, penguasa lahan, hingga pemindahan ibu kota yang hanya menguntungkan korporasi-korporasi industri ekstraktif.

Disinyalir, gara-gara soal-soal inilah, tiga sekawan itu dicoba untuk dibungkam. Memang tak ada bukti yang benderang.