Tak ada yang tahu apa yang ada dalam dipikirkan Mana. Dari kejauhan tatapan matanya tampak nanar ke arah makam Gijik, anaknya yang menjadi korban tewas dalam peristiwa bentrok antara masyarakat adat Bangkal dengan aparat kepolisian di kebun sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, pada 7 Oktober 2023.
Gijik yang tewas diterjang timah panas aparat kepolisian itu dikebumikan di makam keluarga, yang lokasinya tak begitu jauh dari rumahnya, di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Makamnya dibangun cukup monumental, seolah keluarga ingin memberikan tempat istirahat terakhir yang spesial untuk Gijik.
Sore itu, beberapa warga bertandang ke rumahnya. Mana membiarkan anaknya yang paling tua, Rius, menerima dan mempersilahkan para tamu itu masuk dan duduk. Sementara wanita paruh baya itu memilih duduk di salah satu pojok ruang rumahnya, di bawah temaram. Hanya Rius dan kerabat lainnya yang melayani para tamu berbincang.
Menurut Rius, peristiwa naas yang dialami Gijik sangat membekas di benak keluarganya, terutama ibunya. Sang ibu agak mudah emosional bila sosok anak yang sehari-hari tinggal bersamanya itu jadi bahan perbincangan.
Rius bilang, meski tak melarang anak-anaknya ikut dalam aksi massa menagih kebun sawit kepada PT HMBP I, tapi ibunya sama sekali tak menyangka Gijik akan kehilangan nyawa. Apalagi, ironisnya hidup anaknya hilang karena perbuatan aparat hukum.
“Sampai sekarang kami masih belum bisa memaafkan pelaku,” kata Rius, saat ditemui di kediamannya, 12 November 2024. Yang lebih menyakitkan, kata Rius, pelaku penembakan yang merenggut nyawa adiknya itu, yakni Anang Tri Wahyu Widodo, hanya divonis 10 bulan kurungan penjara saja, oleh Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya.
Siapa Best Agro International? Best Agro International adalah konglomerat besar yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, dengan berbagai anak perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Sebagai pemain utama dalam industri kelapa sawit, Best Agro memiliki beberapa anak usaha, termasuk PT HMBP I dan PT HMBP II, yang terlibat dalam sejumlah konflik agraria dengan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah. Perusahaan ini terkenal karena sering terlibat dalam perdebatan tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), serta masalah dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan petani kecil. Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan ini dinilai gagal memenuhi kewajiban mereka, seperti pembangunan kebun plasma sawit, yang menyebabkan ketegangan antara warga setempat dan pihak perusahaan, hingga memunculkan aksi protes dan kekerasan. |
Rius menganggap, apabila hukum yang diterapkan adalah demikian, ia juga rela dihukum 10 bulan penjara, asalkan ia bisa balas menembak mati pelaku. “Kami tidak rela nyawa adik kami hanya dibalas hukuman 10 bulan penjara,” ucap Rius.
Bahkan upaya damai secara adat yang coba dilakukan pihak kepolisian, dengan pemberian berlembar-lembar rupiah, berkali-kali Rius dan Mana tolak. Padahal uang damai yang ditawarkan nilainya tak sedikit, yakni Rp450 juta. “Terakhir mereka datang itu Oktober kemarin. Tapi kami tetap menolak menerima uang damai itu,” kata Rius.
Kematian Gijik tampak sangat mempengaruhi keluarga yang ditinggalkan, terutama sang ibu. Sebab semasa hidup Gijik tinggal bersama sang ibu. Ia sandaran hidup ibunya, karena saudara-saudaranya yang lain sudah berumah tangga dan hidup terpisah.
Sejak kematian Gijik, Muna bahkan mendapat pendampingan dari psikolog. Sebab, menurut penuturan Rius, sampai sekarang ibunya itu masih kerap emosional bila berbicara tentang Gijik. “Bahkan ibu nggak mau lihat video-video rekaman (saat Gijik dievakuasi pasca-tertembak) itu,” ucapnya.
Adapun Rius, sejak proses hukum kasus kematian adiknya disidangkan, ia tak pernah absen hadir di PN Palangkaraya. Meskipun uang santunan yang diberikan beberapa pihak kepada keluarganya terbilang cukup, tapi ia tetap menjual rumah pribadinya untuk memastikan biaya kebutuhan pergi pulang menghadiri sidang di Kota Palangkaraya.
Apalagi Rius juga masih harus melanjutkan usaha perkebunan yang dirintis Gijik. Meski tidak memiliki pekerjaan tetap, Gijik memiliki kebun sawit seluas 11 hektare. Lokasinya tak begitu jauh dari rumahnya.
Suasana saat warga memperingati setahun kematian Gijik di makam Gijik di Desa Bangkal, 7 Oktober 2024. Sumber: Istimewa.
Namun kebun tersebut belum benar-benar menghasilkan rupiah. Justru sebaliknya, masih perlu banyak modal untuk memupuknya. “Karena baru buah pasir. Makanya Gijik itu menabung, kalau sudah ada duit, dia ke Sampit belanja pupuk, dan lain-lain. Tapi sekarang orangnya sudah tidak ada,” kata Rius.
Soal perjuangan Gijik dalam menagih janji plasma kepada pihak PT HMBP, Rius bilang akan melanjutkannya. Terlebih itu juga hak seluruh warga Bangkal. “ Karena itu yang mendiang perjuangkan. Kalau misalnya ada aksi lagi, saya akan ikut,” katanya.
Rius mengakui, sempat menerima pembayaran dana alokasi plasma (DAP) dari kebun plasma, yang akhirnya diberikan dari PT HMBP. Tapi karena ada pro-kontra terkait luasan kebun yang diberikan, yakni hanya seluas 433 hektare, sementara luas lahan yang diminta warga seluas 1.175 hektare, maka ia memutuskan mengalihkan bayaran pembagian DAP itu kepada orang lain. “Kalau tidak salah, saya hanya dua kali saja mengambilnya,” katanya.
Menurut pengakuan Rius, ia tidak mengetahui bagaimana namanya bisa masuk dalam daftar penerima DAP. Yang ia tahu, ia diberi kartu anjungan tunai mandiri (ATM). “Pembayarannya dikirim ke rekening, ambilnya pakai kartu ATM itu. Katanya per bulannya sebesar Rp300 ribu, tapi sepertinya tidak sampai segitu,” tuturnya.
Rius merasa keanggotaannya dalam koperasi plasma itu justru membuatnya sedih, karena Gijik tidak masuk dalam keanggotaan plasma. “Padahal dia sampai kehilangan nyawa. Di perusahaan lain, walaupun sudah meninggal tetap dapat plasma,” ujarnya.
Rius menegaskan, ia dan ibunya akan tetap memperjuangkan kebun sawit seluas 1.175 hektare yang berada di luar HGU PT HMBP I, yang diminta warga Bangkal, dan tidak ingin ikut dalam skema pembagian DAP senilai Rp300 ribu yang berjalan saat ini. “Yang kita (warga Bangkal) minta itu kebun, bukan duit yang hanya Rp300 ribu per bulan seperti ini,” katanya.
Penegakan hukum yang tak berkeadilan
Ratusan warga Bangkal mengantar Gijik ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sumber: Istimewa.
Di mata Sarianto, koordinator lapangan saat warga Bangkal menggelar aksi massa di kebun PT HMBP, Gijik adalah pribadi yang baik, dalam kesehariannya juga tidak neko-neko. Pendiriannya dalam perjuangan mendapatkan plasma sawit dari PT HMBP juga kuat. Gijik selalu hadir dalam tiap aksi bersama warga lainnya.
Sarianto sendiri merupakan salah satu saksi mata kejadian naas yang menimpa Gijik. Ia melihat langsung bagaimana Gijik dan Taufik bersama-sama tumbang ke tanah, saat rentetan suara letusan mesiu terdengar di antara kabut gas air mata yang memenuhi kebun sawit yang diduduki warga. “Saat melihat Gijik dan Taufik rubuh, saya lari dan bersembunyi di balik pohon sawit,” katanya.
Awalnya, ia bersama warga lain, termasuk Gijik dan Taufik, bermaksud menghadang personel polisi yang dengan paksa mengusir warga yang bertahan di kebun. Namun ia sama sekali tidak menyangka pihak kepolisian akan menggunakan peluru tajam dalam menghadapi massa warga Bangkal saat itu.
Sama seperti Rius dan Mana, Sarianto juga mengaku tak terima pelaku penembakan Gijik hanya divonis ringan, dan berharap ada mekanisme hukum lain yang bisa ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi Gijik. “Nyawa Gijik seperti tidak ada harganya saja,” katanya.
Mengenai proses hukum lanjutan terhadap pelaku penembakan Gijik, seperti yang diharapkan Sarianto, hampir tak ada jalan lagi. Tak ada upaya hukum pidana lagi yang bisa ditempuh. Sebab setelah Majelis Hakim PN Palangkaraya menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap terdakwa, jaksa penuntut umum (JPU) tidak mengajukan upaya hukum banding, tidak seperti yang diharapkan keluarga Gijik.
Sikap pihak JPU tersebut tentu saja membuat Rius sangat kecewa. Rius sangat berharap ada langkah hukum lain yang bisa diambil, demi mendapatkan keadilan buat adiknya. Meski begitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya belakangan menawarkan agar pihak keluarga Gijik menempuh upaya hukum perdata. Lewat upaya hukum ini keluarga mendiang masih bisa meminta restitusi lewat jalur perdata.
Sebelumnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah memberikan rekomendasi resmi kepada JPU, agar permintaan restitusi untuk keluarga Gijik ini dimasukkan dalam dakwaan kasus penembakan Gijik. Tapi rekomendasi tersebut diabaikan, dan tidak pernah disebutkan dalam persidangan.
Menurut perhitungan valuasi kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan si terdakwa, yang dihitung LPSK, keluarga Gijik berhak mengajukan restitusi sekitar Rp2,2 miliar. “Sejauh ini hanya langkah hukum itu yang tersisa yang bisa ditempuh untuk keluarga Gijik,” kata Janang Firman Palanungkai, Manager Advokasi, Kajian dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng.
Janang sendiri mengaku geram terhadap vonis yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, terhadap pelaku penembakan Gijik. Kegeramannya semakin besar kala JPU ternyata tidak mengajukan upaya banding. “Seolah kematian Gijik ini menjadi hal yang sepele di mata hukum. Bahkan saat persidangan, jaksa malah seakan membela perusahaan dan terdakwa,” ucapnya.
Janang merasa ada yang ganjil dalam proses persidangan pelaku penembakan Gijik. Dalam persidangan hakim mendalilkan adanya perdamaian adat yang terjadi antara terdakwa dengan pihak korban. Padahal pada kenyataannya, perdamaian adat itu hanya dilakukan dengan korban lainnya, yakni Taufik, bukan Gijik.
Suasana persidangan pelaku penembakan Gijik di PN Palangkaraya. Sumber: Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal.
Sedangkan perdamaian adat dengan keluarga Gijik, sampai sekarang tidak pernah terjadi. “Tapi hakim tidak melihat itu (keluarga Gijik tidak menerima perdamaian adat), dan menganggap perbuatan penembakan yang menewaskan Gijik itu hanya kelalaian saja,” ujar Janang
Dalil hakim yang mengecilkan perbuatan pelaku hanyalah sebuah kelalaian, menurut Janang, juga aneh. Karena dilihat dari latar belakangnya, pelaku merupakan salah satu instruktur penembak di instansi kepolisian tempatnya bekerja. “Tidak mungkin dia (pelaku) melakukan kelalaian. Ini (dalil) sangat sungguh miris,” katanya.
Janang menganggap nyawa Gijik tidak harus dikorbankan, bahkan bentrok antara warga Bangkal dan kepolisian yang berujung pada tindak kekerasan itu tidak harus terjadi, bila PT HMBP I menunaikan plasmanya yang sudah dijanjikan kepada warga Bangkal sejak 2013 silam.
Janji kebun plasma sawit yang tak direalisasikan
Menurut kronologisnya, pada 26 Oktober 2013 lalu, terjadi musyawarah antara warga Bangkal dan PT HMBP I. Hasilnya, selain sejumlah tuntutan dengan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan, disepakati bahwa PT HMBP telah menyetujui akan membangunkan kebun plasma sawit untuk warga Bangkal, lokasinya di luar areal Hak Guna Usahanya (HGU).
Pembangunan kebun plasma sawit itu dengan ketentuan PT HMBP I menyediakan lahan di mana pun, untuk setiap kepala keluarga (KK) akan mendapatkan masing-masing 2 hektare, waktu pelaksanaan akan dilakukan paling lambat awal Januari 2014.
Semua hal itu disepakati dalam berita acara notulen rapat hasil musyawarah masyarakat Desa Bangkal dengan pihak perusahaan PT HMBP I. yang ditanda-tangani sejumlah petinggi PT Best Agro International—induk usaha PT HMBP, yakni H. M Wahyu Bima Dharta sebagai Legal Manager, Paris Siahaan sebagai General Manager, dan M. Arief Nasution sebagai Regional Office. Tanda tangan tiga perwakilan PT Best Agro International ini dibubuhkan di atas materai tempel 6.000.
Sejumlah warga ditangkap saat melakukan aksi massa warga Bangkal menuntut realisasi kebun plasma sawit di PT HMBP I, 7 Oktober 2024. Sumber: Kalteng Today.
Tapi banyak tahun telah berlalu, dan janji pembangunan kebun plasma sawit untuk warga Bangkal itu—yang bahkan secara resmi diketahui Wakil Bupati Seruyan, yang kala itu dijabat oleh Yulhaidir—belum juga dipenuhi oleh PT HMBP. Hal tersebut kemudian membuat warga Bangkal jengkel.
Menurut James Watt, tokoh masyarakat Bangkal, pihak PT HMBP I belum lama ini menyebut ada lahan seluas sekitar 1.1.75 hektare, yang berada di luar HGU-nya. “Tapi kita tidak tahu juga lokasinya di mana,” katanya, saat ditemui, pada 12 November 2024.
James mengungkapkan, pada 24 September 2023, warga Bangkal, bersama pemerintah desa setempat, damang kepala adat, dan tokoh masyarakat setempat, menggelar rapat membahas sejumlah persoalan antara warga Bangkal dengan PT HMBP I. Termasuk soal kebun plasma sawit yang tak kunjung dipenuhi PT HMBP I itu.
Ada beberapa tuntutan dan permintaan warga yang akhirnya disepakati untuk disampaikan kepada pihak PT HMBP I dalam rapat itu. Beberapa di antaranya, perlu dilakukannya mediasi membahas luasan plasma yang diberikan seluas 240 hektar, dalam bentuk Dana Alokasi Plasma (DAP), yang nilainya per hektare Rp 300 ribu untuk seumur hidup.
Kemudian, warga Bangkal menghendaki agar pasukan Brimob menarik diri dari Desa Bangkal, sekaligus meminta agar pihak kepolisian saja yang melakukan pengamanan di lapangan, bukan Brimob.
Dalam rapat tersebut, warga Nangkal tetap menuntut lahan di luar HGU PT HMBP I seluas 1.175 hektare dikembalikan kepada masyarakat Desa Bangkal. “Kalau mediasi tidak membuahkan hasil maka akan diteruskan ke ranah hukum adat, serta menduduki lahan seluas 1.175 hektare itu, dan panen massal,” kata James.
Kejahatan yang terstruktur
Janang menganggap penembakan Gijik, serta Taufik Nurahman—korban lainnya yang juga ditembak peluru tajam dan dinyatakan lumpuh seumur hidup, adalah kejahatan yang terstruktur. Karena menurut kronologisnya, peristiwa itu awalnya hanyalah soal realisasi kebun plasma sawit.
Tapi, alih-alih memenuhi janjinya kepada warga, pendekatan yang digunakan perusahaan justru dengan pengerahan aparat hukum dalam jumlah yang cukup besar, “Yang kemudian memicu reaksi dari warga.”
Menurut Janang, pendekatan yang demikian memang sudah jadi kebiasaan PT Best Agro International. Dalam konflik agraria antara warga dan anak usaha PT Best Agro International yang lain, yakni PT HMBP II, sejumlah warga Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, mengalami kriminalisasi hingga masuk penjara. “Bahkan salah seorang warga meninggal dunia saat menjalani masa tahanan,” ujar Janang.
Pada Agustus 2024, kata Janang, anak usaha Best Agro lainnya, yaitu PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP) III, juga berkonflik dengan warga sekitar kebun sawitnya, hingga mengakibatkan pembakaran beberapa rumah karyawan.
Akar masalahnya juga sama, yakni soal realisasi kebun plasma sawit. “Mereka juga memobilisasi aparat hukum dan keamanan dengan jumlah besar. Ada kejahatan yang terstruktur, dan grup perusahaan ini seperti kebal hukum,” ucapnya.
Keluarga Gijik berfoto di makam Gijik yang terletak tak jauh dari rumahnya. Sumber: Istimewa.
Bagaimana tidak kebal hukum. Janang menjelaskan, perusahaan yang seharusnya dihukum karena tidak menjalankan kewajibannya membangunkan kebun plasma untuk masyarakat di sekitar konsesinya, justru dilindungi oleh aparat hukum, dan dibiarkan pemerintah. “Aparat yang berjaga di perusahaan, kemudian melakukan kekerasan terhadap warga, malah dilindungi,” katanya.
Menurut hemat Janang, banyak bermunculannya konflik warga dengan anak-anak usaha Best Agro Group ini dipicu oleh rasa muak warga terhadap keberadaan perusahaan yang dianggap tak memberikan dampak positif. “Jangankan plasma, tanggung jawab sosial pun tidak ada. Yang ada nyawa warga melayang,” ujarnya.
Demi meminimalisir jatuhnya korban warga, Janang memberi nasihat kepada pemerintah agar melakukan evaluasi terhadap perizinan-perizinan perkebunan sawit, khususnya di Kalimantan Tengah, dan juga melakukan audit lingkungan.
Selain itu, sambung Janang, pemerintah perlu pula melihat sebaran dampak positif atas keberadaan perusahaan-perusahaan sawit terhadap warga. “Apalagi banyak perusahaan yang beraktivitas di dalam kawasan hutan, dan belum merealisasikan plasma,” ucapnya.
Bukan hanya itu, masih kata Janang, bercermin pada kasus PT HPBP I, perusahaan tersebut belasan tahun tidak merealisasikan kebun plasma tapi malah mendapat dukungan aparat penegak hukum. “Sehingga instansi kepolisian juga patut untuk dievaluasi,” kata Janang.