SEBUAH pesan masuk ke Whatsapp Bambang Hero Saharjo pada sebuah siang. Dari putrinya.
“Ini apa lagi?” putrinya bertanya, merujuk pada rekaman layar sebuah judul berita di Kumparan yang ia sertakan bersama pesannya. Judul berita itu “Guru Besar IPB, yang hitung kerugian negara korupsi timah 271 T, dipolisikan warga Babel”.
Bambang tak segera membalas pesan itu. Dia baru bisa merespon satu jam setelah putrinya menelepon untuk yang ketiga kalinya. Namun, alih-alih menjawab langsung pertanyaan putrinya, dia mengirim screenshot tubuh berita itu.
“Itu jawaban Kejaksaan Agung. Oke?”
“Gapapa jadinya? Buzzer-nya rame banget,” tanya anaknya.
“Iya, gapapa. Mustinya yang diprotes itu hakimnya.”
“Kenapa hakimnya?”
“Kan dia yang milih hasil Bapak?”
“Gak ngerti ah,” kata anaknya.
Bambang menghela napas. Dia tahu anaknya khawatir, sebab “namanya anak, berpikirnya dipolisikan ya dipenjara”. “Bahasanya media kan luar biasa: Saya dipolisikan. Kan judulnya ngeri itu,” ujarnya pada Rabu, 19 Februari 2025, di Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
Analisis konten untuk riset “Status Pembela Lingkungan Lingkungan Indonesia 2014-2024” ini menemukan, berbagai media—beberapa di antaranya media arus utama—serempak memakai kata kunci “dipolisikan” untuk berita tentang Bambang Hero yang dilaporkan Ormas Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung ke Polda Bangka Belitung pada 8 Januari. Kompas, misalnya, membuat judul “Profil Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB yang Dipolisikan di Kasus Harvey Moeis”. Detik, Media Indonesia, Suara, juga ditemukan menggunakan kata kunci yang sama.
Penggunaan kata “dipolisikan”, kata Bambang, konotasinya dirinya ditahan polisi, merujuk pada kata bentukan seperti 'dirumahkan' (ditempatkan dalam rumah) atau 'dipenjarakan' (ditempatkan ke dalam penjara). “Padahal, saya baru dilaporkan ke polisi,” ujarnya.
Seingat Bambang, hanya sedikit media yang tidak menggunakan kata dipolisikan kala itu. Di antara Tempo dan Betahita. Tempo membuat judul “Ormas Bangka Belitung Laporkan Bambang Hero...”. “Media mungkin memakai kata itu demi membuat orang meng-klik beritanya,” dia menduga.
Serangan Balik Koruptor
Bambang dilaporkan Perpat karena menghitungkan kerugian lingkungan dalam kasus korupsi tata niaga timah ilegal di Bangka Belitung untuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), selain menjadi saksi ahli Kejaksaan Agung untuk kasus tersebut di pengadilan. Menurut hasil perhitungan Bambang dkk,kerusakan lingkungan akibat kasus korupsi ini Rp271 triliun, mencakup kerugian lingkungan Rp183,703 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp74, 493 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp12,157 triliun.
Menjadi kasus kerugian lingkungan terbesar sepanjang sejarah Indonesia, pada 23 Desember 2024, hakim memvonis enam dari 22 terdakwa kasus ini 4-8 tahun penjara dan denda Rp 750-210 miliar. Mereka adalah Harvey Moeis (Direktur Utama PT Refined Bangka Tin/RBT), Suparta (Direktur Pengembangan Usaha RBT), Reza Andriyansyah (penerima manfaat PT Stanindo Inti Perkasa), Suwito Gunawan (Direktur PT Sariwiguna Binasentosa), serta Robert Indarto dan Rosalina (General Manager Operasional PT Tinindo Internusa 2017-2020).
Berbagai kalangan menilai, vonis itu tak sepadan dengan dampak kerusakannya. Bambang merasakan hal yang sama. “Sedih saya. Waktu itu saya berpikir kok gini? Kita udah setengah mati (bekerja). Membongkar itu kan tidak mudah,” ujarnya.
Yang tidak terpikirkan oleh Bambang waktu itu adalah, vonis ringan itu memicu reaksi berantai. Tampaknya, vonis ini menjadi momentum untuk operasi serangan balik yang dilancarkan kepadanya, yang puncaknya berlangsung antara 8-11 Januari 2025.
Serangan balik kepadanya dilakukan melalui media. Pada tanggal 5 Januari, pukul 20.30 WIB, misalnya, di JPNN.com terbit berita berjudul “Kejagung Dinilai Perlu Terbuka di Kasus Korupsi Rp 300 Triliun”. Isinya tentang pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Cendekia Muda Muslim Indonesia (DPP CMMI), Perwira Siregar, yang mempertanyakan soal perhitungan Bambang. Pukul 22:08 WIB, terbit berita berikutnya, bertajuk “Soroti Kasus Timah, Pakar Hukum Sebut Kerugian Ekologis Tak Bisa Jadi Bukti Korupsi”.
Berita ini juga diterbitkan Metrotvnews dengan judul “Kerugian Ekologis Dinilai Tak Bisa Jadi Bukti Korupsi” pada pukul 23:14 WIB, Okezon.com, TVOnenews.com, dan Pikiran Rakyat. Pakar hukum yang dikutip adalah ahli hukum Universitas Mataram, Ufran Trisa.
Keesokan harinya (6/1/2025), Liputan6 ikut menerbitkan pernyataan Ufran Trisa itu dengan judul “Pakar Bicara soal Kerugian Ekologis Pasca 5 Korporasi Jadi Terangka Kasus Timah” pada pukul 10.54 WIB dan pernyataan Perwira Siregar dengan judul “Cendekia Muda Muslim Indonesia Harap Kejagung Minta Ahli Jelaskan Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah” pada pukul 21.15 WIB. Untuk berita tentang Perwira Siregar, Liputan6 menyebut penulisnya “Tim News”, nama yang tak lazim dipakai media massa untuk berita biasa.
“Serangan udara” terhadap Bambang kala itu juga gencar di sosial media. Di X, hastag #BambangHeroSalahHitung dan #PerhitunganKasusTimahHalu laku keras. Terlihat bahwa buzzer ikut bermain, seperti terlihat dari isi pesannya. Misalnya dalam cuitan @Ardhitoyunus yang direpost Akun @GalaSkyz: “#BambangHeroSalahHitung tentang perhitungan kerugian negara, menurut masyarakat babel, beliau tidak memiliki kompetensi menghitung kerugian negara akibat tambang timah!”
Pada masa yang sama, serangan darat juga berlangsung masif. Pada 6 Januari, di Kantor BPKP Perwakilan Bangka Belitung, misalnya, Kelompok Peduli Bangka Belitung melakukan aksi unjuk rasa kepada Bambang. Sementara itu di Jakarta, pada hari yang sama, Andi Kusuma, kuasa hukum terdakwa dan Ketua Umum Perpat menyatakan bakal melaporkan Bambang ke Polda Bangka Belitung.
Sebelumnya, pada Sabtu, 21 Desember 2024, Bambang diserang sejawatnya sendiri di acara diskusi panel bertajuk “Dampak Penghitungan Kerugian Negara Terhadap Perekonomian Bangka Belitung” yang digelar di Universitas Pertiba Pangkalpinang. Yang menyerangnya Sudarsono Soedomo. Mengutip Tempo, Guru Besar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan Bambang telah salah hitung. "Ini cuma satu orang dan bukan ahli pula. Saya mengatakan dia bukan ahli karena tidak mengerti konsep yang harus digunakan. Anehnya hasil yang salah itu langsung dipakai. Seharusnya tidak seperti itu," ujarnya.
Puncak serangan darat kepada Bambang pada 8 Januari, ketika Andi Kusuma resmi mengadukan dia ke Polda Bangka Belitung. Pelaporan ini menjadi “bahan bakar” yang membuat serangan di dunia maya terhadap Bambang makin menggila, hingga—itu tadi—media beramai-ramai menggunakan kata kunci “dipolisikan”. Menurut Google Trend, pencarian dengan kata kunci “Bambang Hero” meroket pada 8-11 Januari 2025 dan 7-9, 12-14, 19-22 Februari.
Tapi, riuh rendah di media dan jagat maya itu tidak diketahui Bambang. Soalnya, dia tak mengikuti perkembangan kasus Harvey pascavonis melalui media online dan tak dapat menjangkau percakapan di media sosial. “Kebetulan saya itu nggak punya. Semua itu (sosial media) gak ada,” ujarnya.
“Jadi saya kaget tahu-tahu dipolisikan. Tahu-tahu disomasi,” ujarnya. “Itu (Somasi) juga tahu karena ada wartawan Tempo yang meminta tanggapan soal somasi tersebut.”
Bambang pun terpaksa membaca berita soal somasi untuknya di media. “Baru saya dapat cerita begini-begitunya,” kata dia.
Dia merasa, untuk kasus somasi ini, media tidak membuat liputan yang berimbang. Yang diberitakan hanya dari kubu yang melakukan somasi. Isunya liar karena yang menulis berita sepertinya tidak mengikuti jalannya persidangan.
Media juga awam soal kedudukan saksi ahli hingga PermenLH No. 7 tahun 2014. Misalnya, adalah hak saksi ahli jika tidak bersedia menjawab. Keterangan ahli juga tidak menyikapkan. “Terserah dari majelisnya, silakan mau diambil (dipakai) atau tidak,” ujarnya. “Jadi seharusnya yang digugat ya hakimnya,” Bambang mengatakan sambil tertawa.
Dia pun keluar sarang, bicara kepada media. “Kan bisa jadi orang (wartawan) itu memang tidak tahu, bisa juga memang gila,” katanya.
Orang Rumah
Bambang mengatakan ia bisa merasa tenang menghadapi serangan balik koruptor karena dia tak pernah berkasus. “Coba kalau ada jejak (buruk) apa. Habis di-bully saya.”
Dia juga diselamatkan oleh, itu tadi, “kekurangdigitalan”-nya. Namun ada masalah di sini. “Istri - anak saya kan ada sosmed,” kata dia. Dari sanalah, informasi mengenai somasi dan kata ”dipolisikan” masuk ke dalam rumahnya, meski datangnya lebih lambat.
Bambang pun akhirnya menceritakan duduk soal kasus itu ke orang rumah. Anaknya, ujar dia, bisa menerima penjelasannya, meski heran karena, menurut anaknya, “yang menang kok bisa (dibeginikan) ya”. Tapi istrinya bersikap lebih keras.
“Mas jujur ya, ini benar gak,” istrinya bertanya, sambil menunjukkan layar hp-nya. “Mas, anak-anak masih kecil, belum ada yang nikah. Bayangkan coba (kalau di penjara). Aduh, mau kayak apa,” kata istrinya lagi.
“Bapak ini sudah pusing-pusing malah dihajar,” ujar istrinya lagi. “Orang-orang itu bukannya terima kasih atau apa karena (kerugian lingkungan) diungkap. Sudahlah, setop saja (jadi pembela lingkungan).”
Bambang kembali meyakinkan istrinya bahwa mereka ada di jalan lurus. Tapi kali ini istrinya kadung kesal. “Iya, Bapak kan omongnya kayak gitu terus. Yang merasakan kami. Itu bagaimana coba: ada yang nanya bapaknya mau ke penjara? Aku sakit ditanya begitu. Terus mau taruh di mana muka saya ini.... Ini loh, Pak. Bapak dua anaknya. Itu tanggung jawab orang tua loh,” kata istrinya.
Bambang tentu saja memahami perasaan istrinya. “Emosi spontan saja, karena judul-judul di media yang mengerikan itu,” ujarnya. [[R1]
Rupanya serangan itu bukan hanya sampai ke rumah intinya, tapi pula ke kampung halamannya. Di sana ada Bapaknya, yang usianya sudah 89 tahun.
Bambang bercerita, hiburan bapaknya adalah menonton TV. Jika dia sedang menjadi News Maker, adiknya siaga mendampingi bapaknya menonton TV. “Soalnya kita khawatir Bapak kena serangan jantung karena mendapat kabar tak benar,” ujar Bambang.
Lalu, suatu kali, adiknya tak ada di tempat. Kabar Bambang disomasi disaksikan Bapaknya.
Bapaknya langsung menelepon dia. “Apa itu di TV itu, berurusan sama siapa? Emang bener itu?” tanya Bapaknya. “Tapi kadang-kadang ada juga berita bagus tentang saya yang dilihat Bapak. Bapak biasanya menelepon juga dan komentar, ‘Tuh bagus tuh tadi’,” ujar Bambang.
Kajian ini juga menemukan, serangan balik kepada Bambang terjadi di kampus. Di sebuah grup diskusi kampus, seorang sejawatnya, menyebut secara tersirat bahwa Bambang harus menjelaskan kepada mereka tentang apa yang disampaikan di persidangan kasus timah, karena ada yang tidak beres, perhitungannya tidak valid. Bambang tak meladeni pernyataan tersebut, tapi seorang sejawatnya yang lain membelanya. Sejawatnya itu menyatakan pendapat Bambang sudah dipakai, menang, sehingga apalagi yang perlu diributkan?
Pembelaan Publik
Bambang mengaku beruntung karena dalam kasus itu ia dibela publik. Beberapa di antara mereka adalah tokoh dan lembaga ternama.
Misalnya Machfud Md. “Pak Mahfud kan ada podcast tentang saya,” ujar Bambang. Padahal, dia tak punya relasi dengan Mahfud. “Kenal juga nggak,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto juga menanggapi vonis itu. Prabowo mengatakan, untuk kasus Timah ini hukumannya mestinya 50 tahun, bukan 6 tahun.
Pembelaan organisasi masyarakat sipil dan akademisi untuknya lebih keras lagi. Sepekan setelah Bambang dilaporkan ke polisi, tak kurang 75 organisasi masyarakat sipil, 51 akademisi, dan 14 pegiat lingkungan hidup mendesak agar kriminalisasi terhadapnya dihentikan. Narasi buruk kubu terdakwa tentang Bambang dibalas dengan narasi tandingan. Termasuk untuk pernyataan Sudarsono Soedomo.
Pembelaan itu di antaranya dari Jikalahari, yang merespon kritik itu pada 8 Januari. Jikalahari—LSM yang didirikan pada tanggal 26 Februari 2002 di Pekanbaru—memprofilkan Sudarsono. Judul artikelnya “Guru Besar IPB Sudarsono Kritik Kejagung: Pantas Saja, Ia Kerap Jadi Ahli Korporasi Korup Perusak Lingkungan”. Artikel itu di antaranya menyebutkan: ”... kerap menjadi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa dalam persidangan kasus kaitan lingkungan hidup dan kehutanan.... Dalam kasus korupsi tambang timah, Prof. Sudarsono menjadi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa.”
Kejaksaan Agung juga mengatakan mereka pasang badan untuknya. “Memang sudah seharusnya demikian, karena saya bekerja untuk negara,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, tradisi kementerian/lembaga untuk melindungi saksi ahlinya bukan kali ini saja. Pada 2016, ketika ia didugat balik PT Jatim Jaya Perkasa untuk kasus Karhutla, KLHK membentuk tim fasilitasi untuk membelanya. Pada 2018, KLHK kembali membelanya ketika ia digugat dalam kasus Izin Tambang Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Kampusnya juga ikut berbenah, setelah ia komplain kepada Rektor soal pemenuhan permintaan tenaga ahli di pengadilan. Selama ini, permintaan untuk menjadi tenaga ahli di pengadilan direspon tanpa menimbang pemohonnya. Hasilnya, tak jarang ahli IPB bertemu di pengadilan, di kubu berlawanan. “Rektor sudah memutuskan bahwa yang akan direspon nanti adalah untuk membela kepentingan negara. Di luar itu tidak akan dilayani,” kata Bambang.
Jihad
Bambang Hero—bapak dua putri berusia 25 tahun dan 22 tahun—mengatakan ia tak takut dengan risiko yang mungkin terjadi pada dirinya karena menjadi pembela lingkungan. “Bukan bermaksud riya, tapi enggak ada alasan lainnya. Inilah jalan saya, jihad saya di situ,” kata dia.
Menurut Bambang, ia tak punya motif bekerja demi uang dalam membela lingkungan. “Saya nggak pernah tanya soal fee, misalnya. Itu bentuk penghargaan saya atas upaya untuk kawan-kawan mengangkat kasus lingkungan ke permukaan,” ujarnya.
Bambang bercerita, seorang kawannya pernah bergurau soal bayaran ini. Menurut kawannya, jika ongkos-ongkos sebagai saksi ahli negara dihitung sejak dulu, “negara bisa menerbitkan surat utang untuk kita.”
Tapi, ia mengaku merisaukan keselamatan keluarganya. “Jangankan itu (ancaman). Kalau anak saya sakit saja, saya nggak bisa kerja full. Pasti kepikiran.”
Sejauh ini, ujarnya, tak pernah ada ancaman ke keluarganya, meski dia sendiri beberapa kali diancam. “Gak banyak, sekitar 3-5 kali. Kasusnya beda-beda, tapi saya sudah terang menilai: ini pas (kasus) yang ini, oh ini pas yang ini,” kata dia.
Suatu kali, dia pernah dicari ke kampus. “Itu tahun 2005, di kasus Riau. Pelaku menganggap saya yang paling bertanggung jawab sehingga dia dihukum,” kata dia.
Waktu itu Bambang tak ditemukan. “Kebetulan saya lagi ngajar,” kata Bambang. Lalu mereka mencari ke rumahnya. Di sana hanya ada anaknya.
Anaknya mengatakan padanya, “Pak ada yang nyari tadi. Turun tadi. Sekali. Dan datang lagi.”
Melihat indikasi buruk itu, Bambang pun membawa orang rumah “mengungsi”. “Waktu itu anak-anak saya masih kecil. Umur 10 tahun yang terbesar. Jadi saya bilang kita jalan-jalan lagi, karena kebetulan belum lama baru jalan-jalan, hahaha.”
Kali lainnya, ketika baru saja membuka pintu sepulang dari TKP, teleponnya berbunyi. Seseorang mengancamnya via telepon. “Selamat sore. Awas ya jika ini dan itu...,” kata dia.
Dari pola ancamannya, Bambang mengungkapkan, ancaman biasanya terjadi kalau ia sedang menangani kasus besar atau ada tokoh besar yang terlibat. Gara-gara itu, rumah Bambang sekarang dibuat tertutup. “Istri saya juga memasang CCTV di sejumlah titik.”
Bambang juga mengurangi menggunakan mobil pribadi ketika ke luar rumah. Dia lebih banyak memakai taksi online, kerap bermasker, memakai topi, agar tak gampang dikenali.
Tapi, ada sedikit masalah dengan driver online. Media telah membuat dia terkenal. Jadi, beberapa kali driver mengenalinya. “Pak, bapak itu yang di TV itu ya? Saya baca juga lho, Pak,” kata Bambang.
Yang terjadi berikutnya, drivernya minta foto selfie.
Namun untuk keamanan digitalnya, Bambang mengaku masih apa adanya. Nomor teleponnya tak pernah ia ganti. “Ini sudah 25 tahun. Itu saja saya punya,” kata dia. Satu-satunya tindakan pengamanannya adalah “tidak merespon nomor yang tak dikenal”.
Perlindungan untuk Pembela Lingkungan
Menurut Bambang, aktivismenya dalam membela lingkungan sangat berkemungkinan berdampak pada keluarga. Yang demikian itu juga yang ditemukan kajian ini pada para environmental defender (ED) lainnya.
Karena itu, ujar Bambang, untuk yang perkara-perkara tertentu yang besar, misalnya menyangkut nama baik dan sebagainya, tidak hanya ahlinya saja yang dipertimbangkan untuk dilindungi, tapi juga keluarganya. “Bukan berarti kita menolak melakukan pembelaan, karena kadang pertimbangannya sulit.”
Untuk itu perlu dipikirkan metode perlindungannya, karena bisa pelik. Waktu dia menangani kasus di Riau, misalnya, Kapoldanya mengatakan akan memberi pengawalan “melekat”. Bambang menolak karena “saya nggak (akan) bisa hidup. Masa ke Alfamart juga ngintil?”
Menurut Bambang, yang lebih penting bagi kepolisian dibanding memikirkan metode perlindungan terhadap pembela lingkungan, adalah agar kepolisian segera memiliki regulasi untuk kasus SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) atau pemanfaatan pengadilan untuk membungkam partisipasi publik dan kebebasan berekspresi masyarakat. “Regulasi ini di Mahkamah Agung sudah ada, di Kejaksaan sudah ada. Tapi kepolisian itu nggak ada,” ujarnya. “Akibatnya, ketika laporan terkategori SLAPP masuk, diperlakukan seperti kasus biasa saja. Padahal harusnya perlakuannya berbeda, karena di isu lingkungan soal SLAPP itu clear.”
Jika ada pedomannya, ujar Bambang, “Ketika memproses laporan, mereka sudah langsung bisa memaknai, memfilter, apakah yang dilaporkan memang pidana biasa atau SLAPP,” ujarnya.
Proses hukum kasusnya juga seharusnya tidak berlarut-larut. Proses penanganan yang berlarut-larut, ujar Bambang, mengganggu konsentrasi ED di kasus itu. Padahal, dia harus melakukan kegiatan yang lain juga. Apalagi jika kemudian ditemukan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. “Tidak beda ini dengan perlindungan terhadap ahli, karena dari awal kan sudah ada kesepakatan dengan yang meminta itu, bahwa saya hanya membantu demi negara.”
Perlakuan terhadap saksi ahli di pengadilan juga perlu diperbaiki. Pengadilan jangan menjadi sarana para pengacara untuk melakukan pembantaian. Jika tidak, kata Bambang, “tak banyak yang mau menjadi saksi ahli, padahal pendapatnya diperlukan, karena ilmunya cukup, tapi nyalinya juga harus cukup.”